Langsung ke konten utama

Sisi Lain Sang Maestro Bulutangkis, Christian Hadinata

Bagi pecinta olahraga bulutangkis tentu sudah tak asing dengan pemain satu ini. Pebulutangkis era 70-80-an. Christian Hadinata. Sang legenda bulutangkis yang prestasinya tak diragukan lagi.

         Bersama sang maestro bulutangkis 
               Christian Hadinata (dokpri)

Berkat prestasinya tersebut, ia dimasukkan ke dalam Badminton Hall of Frame tahun 2001 mengikuti jejak Rudi Hartono. Badminton Hall of Frame sebuah penghargaan bagi pebulutangkis yang sudah gantung raket dan menorehkan prestasi luar biasa. 

Christian Hadinata merupakan pebulu tangkis Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir di Purwokerto, 11 Desember 1949. Pemain ganda yang bermain untuk campuran juga. Tidak banyak pemain yang bisa merangkap seperti ini. Bisa dibilang jarang.

Tapi Christian Hadinata pengecualian. Bahkan ia pernah mengawinkan dua gelar tersebut dalam satu event. Gelar juara ganda putra dan gelar juara ganda campuran. Prestasi yang bisa dibilang luar, luar biasa hebat. 

Yakni pada kejuaraan dunia tahun 1980. Di sektor ganda putra ia berpasangan dengan Ade Chandra. Di sektor ganda campuran ia berpasangan dengan Imelda Gunawan. Bersama pasangan yang berbeda tapi menghasilkan gelar yang sama. Yaitu gelar juara dunia.

Tak ada pemain yang berani melakukan hal demikian. Bermain secara bersamaan dengan posisi berbeda. Selain membutuhkan stamina yang kuat, juga membutuhkan kecocokan terhadap pasangan bermain, dan itu bukan hal mudah. Tapi Christian Hadinata mampu melakukannya. 

Itulah sisi lain dari Christian Hadinata yang membuat saya mengagumi sosoknya. Hingga melambungkan mimpi untuk suatu saat bisa berjumpa secara langsung. Beberapa tahun kemudian, akhirnya mimpi itu terwujud. Saya bisa bertemu dengan Christian Hadinata.

Dokumen pribadi

Senang dong? Pastinya. Kapan lagi bisa bertemu dengan legenda bulutangkis sehebat itu. Satu hal lagi yang membuat saya kagum dengan sosok Christian Hadinata. Sikap sportif dan fair play yang ia contohkan dalam sebuah pertandingan.

Pada final Thomas Cup 1986 di Istora Senayan, Christian Hadinata menunjukkan sikap sportif dan fair playnya. Dalam satu game shuttlecock lawan jatuh di luar garis. Otomatis poin untuk pasangan Christian Hadinata. Namun dengan jujur ia mengatakan bahwa shuttlecock menyentuh rambutnya. 

Meski tidak terlihat tapi ia merasakannya. Hal tersebut yang mengusik nuraninya. Untuk jujur atau membiarkan semua berlalu begitu saja. Ternyata ia memilih jujur. Kejujuran yang sudah langka. Apalagi   dibayar dengan kekalahan. 

Begitulah Christian Hadinata. Yang membuat saya kagum. Tak hanya dalam hal prestasi. Melainkan juga dalam hal attitude. Dua hal yang belum tentu bisa seiring sejalan.

Apalagi dengan posisi sebagai bintang. Sangat manusiawi jika ada perasaan “wah” dan merasa di atas dari yang lain. Sehingga riskan untuk melakukan kesalahan.

Sikap Christian Hadinata patut ditiru. Tak hanya prestasinya saja yang dilihat. Meski tidak harus “plek” alias sama persis. Setidaknya mendekatilah. Misalnya dalam hal prestasi. 

Christian Hadinata awalnya bermain di sektor tunggal putra. Dan berhasil menorehkan prestasi. Ketika di tempatkan di sektor ganda putra, ia juga menorehkan prestasi. Menjadi salah satu ganda putra yang ditakuti lawan. Tentu saja karena kehebatannya.

Begitu di tempatkan lagi di sektor lain. Yakni di sektor ganda campuran. Christian Hadinata tetap memberikan yang terbaik dan mempersembahkan gelar juara. Hal tersebut patut dicermati dan dicamkan oleh semua. 

Tidak hanya bagi pemain bulutangkis atau pemain olahraga lain. Melainkan juga oleh kita semua. Bahwasanya, dengan siapa pun kita bekerjasama. Tunjukkan prestasi diri kita. Kemampuan kita. Tanpa dalih apapun.

Artinya tidak ada alasan atau pasal-pasal lain yang menghalangi kita untuk berprestasi. Misalnya alasan ketidakcocokan dengan pasangan. Tempat latihan yang tidak sesuai dengan keinginan kita dan lain-lain.

Yang paling penting adalah diri kita. Kemampuan diri. Di mana pun berada dan dengan siapa pun itu. Tunjukkan bahwa kita bisa. Ini loh saya. Ayo maju bersama saya. Ayo sama-sama kita lakukan yang terbaik. 

Itulah sisi lain seorang Christian Hadinata yang patut diteladani. Sang maestro dan legenda bulutangkis Indonesia. Salam hormat Koh. (EP)


Sumber berita: Wikipedia

Gambar: dokumen pribadi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dulu Stadion Benteng, Kini Stadion Benteng Reborn

“Wah, seperti grup band saja pakai istilah reborn.” Stadion Benteng Reborn (dokpri) Iya, dong. Memangnya grup band saja yang boleh reborn. Stadion juga bolehlah. Bukan begitu? Tapi memang benar. Itulah nama Stadion Benteng kini. Stadion kebanggaan masyarakat Kota Tangerang. Diberi nama demikian agar kekinian dan mengikuti perkembangan zaman.  Saya sebagai warga Kota Tangerang sekaligus pecinta sepak bola, merasa suprise sekali dengan perubahannya. Sebab saya pernah mengunjungi Stadion Benteng sebelumnya. Zaman masih tak terurus. Kotor dan terkesan horor. Usai dibekukan akibat tawuran antar suporter tiap kali digelarnya pertandingan. Bagi pecinta sepak bola, kostum pemain idola, foto pemain, dan mengunjungi stadion merupakan satu paket yang tidak terpisah. Ketika sedang jalan-jalan ke kota lain, sudah pasti yang namanya mengunjungi stadion tidak boleh dilewatkan. Saya sih. Nah, kalau sudah berada di stadion. Belanja atribut bola yang ada di sana menjadi kesenangan tersendiri. Bisa foto

Selamat, Real Madrid Juara Liga Champions Tahun 2022

Selamat buat fans Real Madrid atas pencapaian timnya pada laga piala Champions tahun 2022.  Picture by bola.net Sejak awal saya sudah menjagokan Real Madrid. Bukan berarti saya tidak menyukai Liverpool.  Suka. Terutama saat era-nya Steven Gerrard. Gaya permainan Liverpool juga keren dini hari tadi. Beberapa kali gawang Madrid nyaris kebobolan. Terutama di babak-babak akhir. Uph, bikin saya tegang dan teriak-teriak sendiri. Enggak lucu kan kalau tinggal dua menit laga usai kok kebobolan. Bisa perpanjangan waktu bahkan adu penalti. Saya kurang suka kalau pertandingan berakhir dengan adu penalti.  Maka ketika akhirnya peluit panjang berbunyi, lega rasanya. Yeaaah, Madrid juara. Maaf ya Liverpool. Kali ini saya mendukung Madrid. Meski saya akui permainan kalian bagus. Saya menyukai Real Madrid ketika era-nya Raul Gonzalez dan David Beckham. Setelahnya biasa saja. Karena sejatinya saya penggemar tim Italia, AC Milan. Juga Manchester City untuk Inggris. Kenapa mendukung Real Madrid pada laga

MotoGP Austria 2020 Nyaris Merenggut Nyawa Rossi dan Vinales

MotoGP merupakan salah satu tontonan wajib saya saat akhir pekan. Pokoknya begitu musim motoGP dimulai, jadwal akhir pekan saya sebisa mungkin tidak bentrok dengan acara siaran langsung motoGP.  Kalaupun terpaksa ada acara saat akhir pekan, saya usahakan bisa tiba di rumah sebelum acara motoGP. Segitunya sih? Ya begitulah yang namanya suka. Tidak ingin melewatkan sedikit pun momen kebersamaan. Berhubung saya suka mengendarai motor. Kerap bertualang dengan sepeda motor. Maka menonton motoGP memiliki keseruan tersendiri. Bukan karena tertarik adu kecepatannya. Atau pelampiasan karena tidak bisa kebut-kebutan di jalan. Namun mengagumi skill atau kemampuan para rider motoGP tersebut. Bayangkan, dengan kecepatan yang semaksimal mungkin mereka harus melewati tikungan-tikungan di sirkuit yang dibuat sedemikian rupa alias sulit. Bahkan ada tikungan yang begitu tajam dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Ini bukan hal yang mudah dilakukan jika tidak memiliki kemampuan dan kecerdasan.  by Tempo.